Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Biologi dan Biodiversitas Prokariot yang saya tulis pada tahun 2001.Selama hidup, kita mendapati bahwa organisme yang bernyawa selalu mereproduksi dirinya sendiri. Gajah selalu mereproduksi gajah, burung gereja selalu mereproduksi burung gereja, mangga selalu menghasilkan mangga ; gajah tidak pernah mereproduksi burung gereja dan juga tidak pernah menghasilkan mangga. Ini adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh akal sehat dan sejarah sekalipun. Namun tidak jarang kita mendapati organisme berbeda yang sebelumnya belum pernah ada. Dalam hal ini “evolusi” adalah kata yang paling ampuh untuk menjelaskan fakta baru tersebut. Tapi apakah hal ini benar menurut ilmu pengetahuan ?
Permasalahan pertama dalam evolusi adalah apakah evolusi sendiri itu benar. Perdebatan mengenai permasalah klasik ini tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Seperti kita membicarakan duluan mana antara ayam dan telur. Orang tidak mengetahui secara pasti apakah ayam yang lebih dulu ada ataukah telur. Begitu juga dengan evolusi. Di satu sisi kelompok “kreasionisme” mengganggap bahwa teori evolusi yang ada selama ini adalah kebohongan belaka (atau lebih tepatnya menyesatkan). Sementara di sisi lain kelompok “evolusionis” mengganggap bahwa hal itu adalah prinsip yang “urgent” sehingga perlu dikembangan lebih lanjut dalam skala ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, terutama bidang biologi molekuler, konsep evolusi yang oleh Darwin dikatakan sebagai agen perubahan yang memunculkan banyak bentuk kehidupan seperti sekarang telah berkembang menjadi banyak teori evolusi, seperti evolusi manusia, kimia, sistem ekologi, perilaku, kebudayaan, penciptaan alam semesta, dan evolusi-evolusi lainnya.
Di antara peneliti yang mengembangkan konsep evolusi Darwin tersebut adalah Mojzsis, seorang ilmuwan yang mengenalkan bentuk awal kehidupan. Sampai dengan pertengahan pertama abad 20, ilmuwan percaya bahwa tidak ada kehidupan di bumi. Dengan teknik radio-isotop Majzsis menemukan fosil stromatolit yang diidentifikasi berumur lebih dari 3,85 milyar tahun yang. Peneliti lain yang dipelopori oleh Haldane (1932), Oparin (1938), dan Deckerson (1978) berhasil mencetuskan konsep evolusi kimiawi yang kemudian menjadi dasar pemikiran mengenai asal muasal kehidupan. Peneliti lain seperti Stainley L. Miller dan Harold C. Urey (1950) serta Sydney W. Fox menguji kebenaran teori Haldane dan koleganya yang akhirnya mendukung dan memberikan bukti kuat lainnya yang belum disebutkan sebelumnya mengenai Progenotes atau Protobion. Akhirnya perubahan besar disampaikan oleh Woose dkk (1990) dan Pace (1997) mengenai analisis 16s rRNA yang dapat digunakan untuk melacak asal usul dan kekerabatan makluk hidup.
Kalau kita mau jujur, dari serangkain penelitian di atas, saat ini kita mengetahui banyak hal mengenai kehidupan yang selama ini terselubung, seperti endosimbion, bentuk kehidupan ekstrim, fisiologis sel, protein dsb. Lebih jauh, kita juga bisa menerangkan mekanisme seleksi, mutasi, resistensi, dan variasi yang semua itu adalah bagian dari evolusi sepanjang rentang sejarah kehidupan. Aplikasi dari penemuan derivat yang di-inisiasi oleh pengetahuan di atas, saat ini kita bisa mendapatkan banyak produk seperti enzim termostabil, rekayasa genetika, pengendalian hama dan penyakit, penanganan senyawa pollutan non degradable, bidang medis, dan masih banyak lagi yang notabenenya bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak.
Dengan demikian kita sepakat bahwa teori evolusi adalah satu-satunya teori yang telah menyusup ke segenap aspek ilmu pengetahuan. Konsepnya sendiri yang mengandung implikasi bahwa dunia ini tidaklah statis tetapi berubah secara dinamis dan spesies kita adalah produk dari proses evolusi, tak terelakkan lagi telah mengubah pandangan dan pemahaman manusia tentang alam, dan tentang eksistensi dirinya sendiri. Karenanya evolusi kemudian menjadi sangat mudah diadopsi untuk dijadikan terminologi bagi banyak cabang ilmu pengetahuan.
Manusia baik secara individual ataupun kelompok adalah makluk yang memiliki kepribadian, keyakinan, keinginan, ambisi, serta kepentingan yang bersifat material ataupun filosofis-idiologis. Oleh karena itu manusia tidak akan pernah bisa melepaskan dirinya seratus persen dari elemen subyektifitas. Inilah yang melatarbelakangi banyaknya interpretasi tentang evolusi. Harun Yahya misalnya, seorang tokoh kreasionis modern telah memberikan perubahan pandangan dalam memahami evolusi. Ia membantah teori evolusi dengan pendekatan ilmiah, yang oleh generasi kreasionisme sebelumnya belum bisa diterangkan. Buku barunya yang berjudul “The Evolution Deceit” mengungkapkan banyak hal mengenai kebuntuan teori evolusi, baik evolusi molekuler, evolusi manusia, maupun teori evolusi yang lain. Dengan sangat mudahnya tokoh bernama Harun Yahya ini dalam sekejab “memangkas” ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses yang panjang. Lantas apakah ini musibah bagi ilmu pengetahuan ? Atau apakah ilmu pengetahuan telah mengalami “chaos” ?
Apa yang dikatakan oleh Harun Yahya pada dasarnya adalah perbedaan. Dalam komunitas masyarakat, apalagi masyarakat ilmiah, perbedaan adalah hal wajar seandainya diletakkan pada nilai obyektivitas ilmu pengetahuan. Sementara jika perbedaan diletakkan pada nilai-nilai dogmatis, maka yang ada adalah emosi membabi buta yang akhirnya justru akan merugikan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan berkembang karena keinginan orang untuk mencari tahu atau karena keberaniannya mempertanyakan sesuatu yang dianggap aneh. Dan ilmuwan sendiri bisa menghasilkan penemuan yang bermanfaat karena bisa mengalahkan keterbatasan dan mengekpresikan pikiran tanpa terbatasi oleh dogma-dogma yang belum tentu jelas.
Dalam memahami ilmu pengetahuan, prinsip Uniformitarianisme sangat diperlukan. Uniformitarianisme semata-mata menyatakan suatu proses yang kita lihat bekerja untuk jangka waktu singkat dapat berlaku lebih lama agar berakibat lebih besar secara proporsional. Meski dapat di uji, ia tidak benar-benar merupakan prinsip empiris : prinsip ini seharusnya lebih dipercaya karena kekuatan logisnya. Dengan prinsip inilah kita memperluas teori yang telah uji pada skala kecil untuk memperluas pengamatan pada skala yang lebih besar. Gravitasi, misalnya diajukan oleh Newton dari ‘kerja’ skala kecil mengenai gerakan benda-benda. Tak seorang pun mengetahui dan pernah secara langsung menguji bahwa bintang-bintang saling menarik satu sama lain seperti halnya apel ditarik ke bumi. Kita percaya uniformitarianisme, apabila uniformitarianisme ini kita tolak, semua ilmu pengetahuan menjadi mustahil. Apalagi belajar mengenai evolusi yang terpaut dengan ruang dan waktu.
Pendapat yang dikemukakan oleh Harun Yahya pada dasarnya adalah kekhawatiran munculnya paham materialisme modern berkedok ilmiah yang sebenarnya tidak beralasan. Jika pendekatan agama yang digunakan, maka alasan yang diambil pun kurang tepat, karena agama manapun tidak melarang umatnya untuk bertanya dan memahami kehidupan. Agama justru menyuruh umatnya untuk terus belajar dari fenomena alam yang ada, karena dari alam fakta itu ada. Pembelajaran proses kehidupan (seperti evolusi misalnya) tidak akan membawa orang pada penganut materialisme buta, malah semakin orang mendalami, semakin sadar ia akan kekuasaan Tuhan. Seandainya kita skeptis terhadap permasalahan evolusi, belum tentu saat ini kita bisa menyingkap banyak rahasia tentang kehidupan. Lebih jauh kita mungkin hanya akan menjadi makluk egois terhadap makluk hidup lainnya yang sama-sama diciptakan Tuhan. Akankah kita mengorbankan sesuatu yang essensial dalam hidup kita hanya karena dogma ?
Amsi Rahmanta