Sabtu, 20 September 2008

DAMPAK ECOTOURISM DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANO


Tulisan ini merupakan salah satu laporan Praktek Lapangan yang saya susun sewaktu masih kuliah dan aktif sebagai volunteer di TN.Gede Pangrango

Munculnya trend gaya hidup back to nature dalam masyarakat mendorong berkembangnya kegiatan wisata alam saat ini. Pada satu sisi aktifitas ini berdampak positif dalam pemasyarakatan program konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hal ini dibuktikan dengan tingginya minat masyarakat, khususnya kawula muda untuk mengadakan kegiatan wisata alam seperti pendakian, camping di alam bebas, hiking, repling, atau hanya sekedar menikmati keindahan alam.

Namun demikian pada sisi lain trend back to nature masih belum dipahami dan dihayati secara baik dan benar oleh pengunjung. Masih banyak pengunjung yang belum sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga membawa dampak pada munculnya berbagai permasalahan seperti sampah di sepanjang jalur pendakian, pencemaran perairan, peningkatan erosi pada jalur pendakian, vandalisme, introduksi spesies non indigenous dan lainnya.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya kepedulian dan apresiasi masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan kawasan konservasi. Lebih jauh, masyarakat belum memahami arti, fungsi, dan tujuan Taman Nasional sehingga tidak bisa membedakan antara rekreasi di Taman Nasional atau rekreasi di luar Taman Nasional.

Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kegiatan wisata alam terhadap kelestarian potensi Taman Nasional perlu dilakukan monitoring dampak lingkungan. Salah satu caranya dengan menggunakan metode observasi sepanjang jalur Cibodas-Puncak Gede, sedangkan metode pengambilan sampel untuk analisis labolatorium tidak dilakukan, sehingga analisis yang dilakukan hanya berdasarkan studi literatur.

Berikut ini adalah hasil observasi dampak kegiatan wisata alam sepanjang jalur Cibodas-puncak Gunung Gede :

Pencemaran Sampah Padat

Sampah padat (Landfill) yang umum ditemui adalah plastik, kaleng makanan atau minuman, tabung gas, dan baterei bekas. Sampah padat ini terkonsentrasi pada sepanjang jalur pendakian, tempat camping ground, dan tempat-tampat peristirahatan yang tidak ada petugas, seperti Kandang Badak, Puncak Gede, dan air terjun Cibeureum. Di tempat-tempat ini sampah terkonsentrasi paling banyak dan bercampur dengan sampah organik sisa makanan.

Plastik adalah polimer sintetik yang resisten terhadap bahan kimia dan biodegradasi. Di alam semua senyawa organik alami terdegradasi pada kondisi yang favorable karena ada mikrob yang berkapasitas dalam biodegradasi. Penumpukan plastik sebagai senyawa xenobiotik di TNGP akan sulit terdegradasi karena ketiadaan enzim pengkonversi senyawa tersebut. Untuk dapat terdegradasi, senyawa tersebut harus mampu menginduksi sistesis enzim pendegradasi. Untuk mencapai hal ini mikroba harus berevolusi dalam waktu yang sangat lama. Evolusi biopolimer sangat lambat dan gradual, bahkan sampai jutaan atau milyaran tahun. Hal ini berarti dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendegradasikan plastik secara sempurna

Ada beberapa jenis polimer plastik yang potensial menjadi biomagnifican, yaitu Polychlorinated Biphenyl (PCB). PCB ini dipakai untuk bahan pembuatan polimer polivinil, yaitu polimer bahan pembuat plastik secara umum. Struktur dari PCB ini mirip dengan DDT, sehingga pengaruh terhadap lingkungan juga mirip dengan DDT (persisten biomagnifikasi). Karena persisten terhadap biomagnifikasi, senyawa xenobiotik rekalsitran ini akan eksis di dalam sel dan konsentrasinya meningkat sebanding dengan tingkatan trofik dalam rantai makanan. Kemudian dengan terjadinya proses makan-memakan dalam rantai makanan, senyawa ini akan terakumulasi lebih lanjut dan menyebabkan kerusakan serius pada organisme karena aktif secara biologis.

Kaleng bekas susu, sarden, corned, minuman kemasan, dan tabung gas adalah landfill yang tersusun oleh logam berat seperti ; Fe, Al, Mg, Mn, Cr, Ag, Ni, Sn, Zn, Pb, Se, dan timah (PPLH-IPB, 1997 dan KPPL DKI Jakarta, 1997). Secara alami logam berat tersebut ada di alam, jadi dalam konsentrasi yang biasa tidak menimbulkan masalah yang serius. Masalah timbul jika konsentrasi di dalam kawasan meningkat oleh aplikasi pengunjung yang membuang landfills tersebut.

Logam berat dimobilisasi oleh bahan asam dan kelat dari produk mikro, kemudian digunakan digunakan sebagai sumber C oleh mikrob pengoksidasi logam berat dalam proses metabolisme energi yang menghasilkan metan. Metan akan terpresipitasi ke tanah sehingga mencemari air tanah, atau terdistribusi keluar dari tempat diaplikasikannya oleh faktor pencucian dan aliran permukaan, atau masuk keperairan dan mencemarinya. Hal ini dapat mengakibatkan ancaman serius terhadap organisme di tempat tersebut.

Logam berat dapat difiksasi dan diserap oleh akar tanaman, atau ditransfer ke tanaman melalui cendawan mikoriza dan hal ini bisa meracuni tumbuhan. Di samping itu logam berat juga bersifat rekalsitran, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (PPLH-IPB, 1997 ; Sutamihardja dkk, 1982). Dampak lebih luas berpengaruh pada rantai makanan di dalam ekosistem.

Tidak semua logam berat bersifat toksik bagi organisme dalam kawasan Taman Nasional. Ada beberapa mikroorganisme yang mempunnyai resistensi terhadap logam berat penyusun landfills, atau senyawa xenobiotik seperti plastik. Resistensi ini dapat dipindahkan pada sel-sel lain dalam populasi (Hardy, 1981). Intensitas transfer gen yang tinggi yang dibarengi dengan tingginya pembuangan landfills oleh pengunjung di kawasan Taman Nasional dalam waktu yang lama akan merubah “Gene Pool” dari komunitas kawasan dan berdampak pada keragaman serta kestabilitan jangka panjang (Atlas and Bartha, 1998). Bila Taman Nasional Gede Pangrango membiarkan hal ini, berarti kegiatan konservasi yang selama ini dilakukan sia-sia saja karena belum bisa melakukan konservasi genetik.

Pencemaran perairan

Perairan adalah komponen lingkungan yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia sehingga perlu mendapat perhatian khusus (Sanusi, 1985). Observasi mengenai pencemaran perairan sebagai dampak dari kegiatan wisata alam di TNGP sebatas pada pengamatan tingkat kekeruhan. Pengambilan sampel untuk analisis labolatorium tidak dilakukan. Observasi pada HM 0-HM 26, diperoleh hasil air kelihatan jernih, tapi bukan berarti tidak tercemar. Sementara observasi di Kandang Badak, sumber mata air sangat tercemar karena banyak sampah plastik, sisa makanan, kaleng bekas yang bercampur dengan mata air sehingga air kelihatan kotor dan keruh.

Analisis mengenai pencemaran perairan hanya dijelaskan berdasarkan studi literatur. Lima hal yang menyebabkan pencemaran air di Taman Nasional Gede Pangrango, khususnya Kandang Badak adalah ; buangan sampah ke tanah atau langsung ke perairan, buangan sisa-sisa makanan ke air atau daerah di sekitar sumber air, pemakaian sabun dan odol, tinja manusia dan air seni, serta erosi tanah yang berlebihan.

Air yang tercemar berpengaruh nyata pada penurunan kandungan oksigen terlarut. Salah satu penurunannya akibat adanya populasi mikroba heterotropik yang meningkat karena masuknya bahan pencemar organik seperti sisa makanan dan minuman. Sekali oksigen dalam air habis terpakai untuk dekomposisi aerob, pembersihan diri sendiri menjadi sangat lambat(Atlas and Bartha, 1998).

TNGP adalah daerah tangkapan dan resapan air yang potensial untuk memenuhi kebutuhan makluk hidup. Sungai-sungai yang mengalir di kawasan ini dimanfaatkan sebagai sumber air bagi keperluan rumah tangga, pertanian, dan industri. Sedangkan fungsi utama dari sungai tersebut bagi ekosistem kawasan yaitu sebagai sumber air bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan.

Pencemaran perairan di kawasan ini akanm membawa dampak luas terhadap kebutuhan air bersih, kesehatan, estetika, dan perekononian. Untuk itu perlu diusahakan agar pencemaran seminimal mungkin terjadi. Salah satu cara yang telah dilakukan adalah himbauan kepada pengunjung untuk menitipkan odol, sabun, biore dan sejenisnya yang mengandung deterjen, atau menyita barang-barang tersebut jika ditemukan ada sewaktu cek packing, serta himbauan untuk tidak menbuang sisa makanan ke perairan.

Kerusakan Fasilitas

Fasilitas yang terdapat di sepanjang jalur pendakian kebanyakan mengalami kerusakan yang parah. Kerusakan disebabkan karena vandalisme, faktor usia, dan ulah pengunjung. Vandalisme adalah kegiatan manusia yang merusak, seperti corat-coret pada obyek wisata maupun fasilitas wisata, membuat tulisan pada pohon atau batu. Media yang sering digunakan untuk kegitan fandalisme adalah supidol, cat, arang, pilok, tip-x, dan benda tajam. Vandalisme disebabkan karena sifat anak muda yang ingin diakui esistensinya dan kecenderungan untuk melanggar peraturan atau menyerempet larangan.

Pengaruh kunjungan terhadap tingkat erosi jalur trail

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain (Setiadi, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah ; curah hujan, sifat-sifat tanah, kelerengan, penutupan vegetasi, dan factor manusia. Curah hujan dan kelerengan berbanding lurus dengan tingkat erosi, sementara penutupan vegetasi berbanding terbalik. Faktor manusia bisa mempercepat erosi atau sebaliknya. Sifat tanah yang gembur cenderung untuk tererosi di banding sifat tanah yang liat.

a.Jalur Cibodas-Cibeureum (2600 m)

Keadaan tanah cukup stabil, topografinya tidak terlalu terjal, dan di samping itu keadaan badan jalannya berbatu sehingga memungkinkan tanah untuk tidak terkikis oleh injakan kaki dan aliran permukaan. Di sepanjang jalur ini ditemui adanya sistem parit/drainase sehingga menyebabkan air tidak mengalir melalui trail dan berarti erosi sedikit.

b.Jalur Panyangcangan-Kandang Badak

Kondisi baik dan ditandai dengan badan jalan berbatu sehingga tingkat erosi rendah, tapi lebih tinggi daripada jalur a di atas, karena kemiringan lerengnya lebih curam.

c.Jalur Kandang Badak-Tanjakan Rantai

Kondisi jalan terjal, kemiringan 45o dan sepanjang jalur ini badan jalan tidak ditutupi dengan batu. Erosi yang terjadi lebih tinggi dibandingkan jalur a dan b. hal ini ditunjukkan dengan banyaknya akar yang terekspos ke udara (Gambar 4). Sistem drainase hampir tidak ada. Sehingga jalur pendakian juga merupakan jalur air, atau disebut gully. Di jalur ini juga muncul jalur terobosan yang dibuat oleh pendaki yang memperbesar tingkat erosi.

d.Jalur Tanjakan Rantai-Puncak Gede

Kondisi jalur sangat terjal dengan kelerengan yang sangat curam serta keadaan tanahnya adalah tanah vulkanik yang banyak mengandung pasir dengan tekstur gembur atau lepas. Penutupan vegetasi relatif rendah. Hal ini memicu tingginya tingkat erosi. Tingginya tingkat erosi ditunjukkan dengan banyaknya akar yang terekpos ke udara serta keadaan tanah yang mudah longsor. Injakan kaki terhadap top soil dan pembuatan jalan terobosan oleh ulah pengunjung semakin mempercepat erosi permukaan. Keadaan jalur ini dapat dilihat pada

Introduksi spesies non indigenous

Dampak wisata alam akibat kunjungan yang tak kalah pentingnya untuk mendapatkan perhatian serius adalah introduksi spesies non indigenous (asing) dalam kawasan. Yang di maksud dengan spesies asing (allien) di sini adalah spesies yang secara alami bukan berasal dari suatu daerah dan kehadirannya dapat menimbulkan masalah atau merugikan lingkungan, perimbangan keanekaragaman hayati, kesehatan manusia, atau menimbulkan dampak negatif pada perekonomian kawasan tersebut (Kehati, 2001). Spesies asing tidak selalu harus berasal dari luar indonesia. Tetumbuhan dan hewan yang berasal dari luar pulau atau luar kawasan dapat juga memberikan dampak negatif yang sama.

Dalam UU No.5 Tahun 1990 pasal 33 disebutkan bahwa setiap orang di larang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan zona inti Taman Nasional, termasuk menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Untuk itu keaslian ekosistem Taman Nasional harus benar-benar di jaga. Sekecil apapun introduksi material biologi, termasuk biji-bijian, telur, spora yang dapat mengembangbiakkan spesies dari satu daerah ke daerah lain harus di cegah.

Indikasi mengenai kekhawatiran ini sudah mulai tampak di beberapa tempat di dalam kawasan, seperti munculnya beberapa tanaman asing (jeruk) di sekitar air terjun Cibeureum atau sepanjang jalur pendakian dan kura-kura di Telaga Biru, yang menurut petugas tidak ada sebelumnya.

Sebagai antisipasi preventif untuk mencegah dampak negatif jangka panjang maka sebaiknya taman nasional mencantumkan larangan membawa jenis material biologis masuk ke dalam kawasan, di samping juga memberikan interpretasi pengunjung sebelum memasuki kawaan.

Tidak ada komentar: