Sudah menjadi kebiasaan orang yang hobi mendaki gunung bahwa pada hari-hari libur nasional selain Sabtu dan Minggu selalu menjadi libur favorit untuk melakukan pendakian gunung, apalagi apabila hari libur tersebut jatuh pada hari Senin atau Jumat, bisa dipastikan banyak pendaki yang berduyun-duyun mendaki gunung-gunung yang notabenenya berada di luar kota. Seperti juga dengan saya (Amsi), Siti, dan Salma yang termasuk salah satu dari ribuan orang yang tertular demam gunung. Maka waktu bertepatan dengan hari libur nasional (hari Wafat Yesus) yang jatuh pada 25 Maret 2005, kami pun berencana melakukan pendakian ke Gunung Merbabu.Hari kamis, 24 Maret 2005 jam 19.00 kami bertiga sudah berkumpul di terminal Kampung Rambutan. Pukul 19.30 bisa Sri Mulyo yang membawa kami sudah meninggalkan terminal. Jumat pagi jam 06.00 Kami memasuki kota Ungaran. Dari kejauhan sudah terlihat Gunung Merbabu yang menjulang tinggi. Disebelahnya terlihat gunung merapi yang selalu mengeluarkan asap, dan diarah timur kelihatan gunung Ungaran dan Telomoyo yang sangat indah meskipun tidak setinggi merbabu dan merapi.
Tepat jam 06.30 kami sudah sampai di pertigaan Pasar Kuda, salatiga. Keadaan pasar masih sepi. Kami berbelanja logistik di sini. Setelah semua logistic terpenuhi, kami segera meluncur menuju Kopeng mengunakan mobil elf dengan ongkos 2000. Sampai di kopeng perjalanan dilanjutkan menggunakan ojek menuju Base Camp Thekelan (1602 m) dengan tarif 5000 per orang melewati bumi perkemahan Umbul Songo, hutan pinus, dan pertanian penduduk. Jarak yang ditempuh tracknya menanjak sejauh 2,5 km.
Jam 08.30 kami tiba di base camp. Kami rombongan pendaki yang pertama tiba. Waktu itu tidak ada siapa-siapa di base camp, bahkan penduduk desa Thekelan juga hanya satu dua yang kelihatan. Untung saja tak lama kemudian, maruf dan haryanto pendaki kenalan kami yang berasal dari Klaten yang sudah janjian mau mendaki bareng datang menggunakan kendaraan sendiri. Tak lama kemudian datang pula 8 orang pendaki dari Salatiga yang baru turun gunung sehingga base camp menjadi tambah rame. Selang 2 jam kami puas ngobrol sambil tidur-tiduran, datang tiga rombongan pendaki lainnya yang berasal dari Jepara, Jakarta, dan Magelang. Di desa Tekelan terdapat dua basecamp yang bersebrangan. Setelah mempersiapkan stamina, makan nasi goreng plus telur, minum extrajoss, dan berak kami segera bergegas berangkat, tapi sayang keberangkatan kami tertunda karena gerimis turun.
Setelah menunaikan sholat dan gerimis reda kami memulai perjalanan pukul 14.30. Tiga rombongan pendaki lain menyusul dibelakang kami. Dalam perjalanan kami melewati ladang penduduk sepanjang 2 km. Setelah 1 jam perjalanan kami sampai di pos pending. Di pos ini terdapat tempat penampungan air yang biasa dimanfaatkan petani dan pendaki. Di pos ini kami beristirahat bersama rombongan pendaki yang lain dan mengambil air untuk persediaan mendaki.
Setelah pos pending terdapat dua percabangan ke kiri dan ke kanan. Jalur pendakian yang sering digunakan adalah yang ke arah kiri, yang di kenal dengan jalur Thekelan. Karena tidak tahu, kami mengambil jalur ke arah kanan. Anehnya, rombongan pendaki yang lain juga mengikuti kami mengambil jalur kanan tersebut. Pantas saja sepanjang 3 jam perjalanan mendaki melewati hutan campuran dan padang rumput kami tidak menemukan pos sama sekali.. Kami baru sadar ketika tiba-tiba kami sampai di atas bukit terbuka yang agak datar dan terbuka. Di situ ada penanda arah “pos IV”. Spontan kami kegirangan, rupanya jalur yang salah tersebut ternyata merupakan jalur tembus dan juga jalur alternative yang jaraknya relative lebih pendek. Jadi kami tidak perlu lagi melewati pos I, pos II, dan pos III, tapi langsung sampai pos IV. Di tempat ini rombongan yang lain berhenti, membuka tenda, dan memasak. Waktu itu jam menunjukkan pukul 18.30.
Rombongan pendaki dari Jepara mengajak kami untuk membuka tenda dan melanjutkan perjalanan lagi jam 12 malam, akan tetapi karena fisik yang masih bagus dan sayang menyianyiakan tenaga, kami sepakat melanjutkan perjalanan. Setelah selesai makan indomie plus krupuk dengan makanan penutup roti bolu, jam 19.30 perjalanan dilanjutkan melewati sabana yang penuh dengan semak belukar pendek. Pohon sudah jarang. Vegetasi didominasi oleh Cantigi, Edelweiss, dan semak pendek. 15 menit berlalu, jalanan mulai menanjak terjal. Sepanjang jalan tak ada bonus, semua menanjak dan semakin menanjak. Sering sekali kami beristirahat sehingga banyak waktu yang terbuang. Jalan yang kami lalui juga agak licin, berlubang dan kadang berbatu sehingga membuat kami sedikit pesimis untuk mencapai puncak dan mengejar sunrise, tapi kami sangat beruntung karena sepanjang perjalanan ini kami juga di temani oleh cahaya rembulan yang sangat terang dan indah. Malam itu cuaca benar-benar cerah. Purnama bersinar dengan indah dan sangat terang sehingga kami hanya sekali-kali menyalakan senter. Di bawah kami terbentang kota salatiga dengan lampu-lampu yang berjajar dan sepertinya tidak pernah putus. Sungguh pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Jam 22.30 kami mencapai pos IV. Di pos IV terdapat antena pemancar dan tempat penampungan air yang terbuat dari drum. Di sana telah ada pendaki lainnya yang sudah mendirikan tenda dan beristirahat. Sambil istirahat kami meeting sebentar. Dengan pertimbangan fisik yang sudah lelah dan puncak utama tidak jauh lagi, kami memutuskan ngecamp dan akan melanjutkan perjalanan lagi jam 03.00. Tenda dibuka dan kami istirahat. Sayang sekali tenda hanya muat untuk 4 orang, sedangkan rombongan kami berjumlah 5 orang. Akhirnya Haryanto mengorbankan diri untuk tidur di bivak luar. Belum lama kami pada tidur, tiba-tiba cuaca berubah. Hujan turun dengan tiba-tiba. Tas yang kami simpan dekat bivak basah beserta isinya. Untung saja tenda tidak tembus air. Hujan berlangsung satu jam, dan setelahnya suhu benar-benar dingin. Kami lumayan tersiksa juga malam itu, sehingga tidur kami hanya tidur-tidur ayam. Siti badannya bergetar, salma giginya bergemerutuk, haryanto di luar hanya jongkok sambil ngoceh karena matrasnya basah. Yang paling nyenyak hanya maruf yang selalu mendengkur (kata anak-anak amsi juga mendengkur).
Jam 02.30 dini hari Amsi bangun. Anak-anak yang lain ikut bangun juga. Suhu tambah dingin saja sampai ke tulang-tulang. Siti dan haryanto membakar sampah untuk menghangatkan badan, anehnya maruf tetap saja mendengkur. Jam 03.00 di luar tenda, tiba-tiba kabut tebal turun dari puncak. Sekali lagi, udara tambah dingin, dingin, dan semakin dingin. Akhirnya diputuskan perjalanan dilanjutkan pagi hari jam 07.00. Pikir kami tidak masalah kalau tidak melihat sunrise dari puncak utama karena di pos IV (puncak I) inipun sunrise dapat dilihat dengan jelas.
Jam 05.00 amsi bangun dan mengajak yang lain untuk melihat sunrise. Tapi anak-anak pada malas keluar tenda. Amsi keluar sendiri. Tak tahunya anak-anak nyusul juga. Sunrise pagi itu kelihatan indah. Menanjang berbentuk fusiform (tengahnya bulat merah, semakin meruncing ke sisi) dan muncul disela-sela awan. Di sini kami berfoto bersama. Rombongan pendaki yang ngecamp di pos IV juga sudah pada bangun dan mengamati sunrise. Sedangkan rombongan dari Bekasi dan Jepara yang kami tinggalkan semalam baru sampai di pos IV jam 06.00.
Setelah puas mengamati sunrise dan berfoto, kami memasak dan makan. Tepat jam 07.30 kami melanjutkan perjalanan ke puncak kenteng songo (3,142 m). Maruf yang merasa tidak pe-de melihat terjalnya tanjakan setan yang kelihatan dari pos IV, memutuskan menunggui tenda dan tidak ikut naik. Bagi maruf yang masih duduk di kelas 1 smu, pendakian ini merupakan pendakian pertama. Kami naik berempat dengan membawa 2 daypack yang berisi air dan sedikit logistic. Waktu itu kabut sudah mulai turun.
Menuju pos V (2928 m) jalur mulai menurun, kemudian mendatar, dan terakhir menanjak. Kanan kiri jurang yang tidak begitu dalam. Di dasar jurang ada kawah mati. Pendaki yang iseng suka turun ke kawah mati ini dan membuat prasasti tulisan dari batu. Jam 08.00 kami sampai di pos V yang berupa puncak bukit berbentuk dataran seluas 20 m2. Kami istirahat dan membuka peta untuk menentukan jalur yang akan diambil karena disini terdapat 3 percabangan.
Kami mengambil jalur ke kiri, menurun dan akhirnya langsung menanjak terjal dan terjal sekali. Hampir-hampir mirip tanjakan rante di Gunung gede. Bahkan siti sampai bilang apakah benar ini tanjakannya. Inilah yang disebut dengan tanjakan setan/ jembatan setan yang lebarnya 1 meter dan kanan kirinya jurang yang waktu itu, dasarnya tidak kelihatan karena kabut. Salah sedikit akan fatal sekali akibatnya. Rombongan memasang kewaspadaan ekstra.
Berdasarkan peta, tanjakan ini sampai persimpangan puncak dapat ditempuh 45 menit (627 m jaraknya), tetapi kami menempuh selama satu setengah jam. Kami sempat agak stress juga karena persimpangan puncak tidak juga kelihatan dan jarak pandang kami hanya 5 meter karena kabut tebal. Untuk menghibur diri kami saling sahut-menyahut dengan pendaki lain yang ada di bawah kami.
Jam 09.30 kami sampai di persimpangan puncak, ke arah kiri puncak syarif (3,119 m) dapat ditempuh 15 menit dari persimpangan tadi, dan ke arah kanan menuju puncak kenteng songo (3,142 m) dapat ditempuh 45 menit menempuh jarak 500 m. Kami mengambil jalur ke kanan menuju puncak kenteng songo (3,142 m) selama 1 jam kami sampai di puncak. Perjalanan dari persimpangan menuju ke puncak ini sangat berkesan karena mengitari bukit dengan lebar jalan hanya 25 cm, sebelah kanan berupa tebing yang hampir vertical, sedangkan sebelah kiri jurang yang dalam sekali. Kembali waspada I kami terapkan. Enaknya disini tidak seperti tanjakan setan yang tanjakannya “naudzubillah min dzalik”, di sini jalannya landai mengitari sisi bukit. Oleh masyarakat setempat tempat ini disebut pundak sapi.
Setelah mengitari pundak sapi, kami sampai di tempat datar (pertengahan 2 bukit). Puncak sudah kelihatan di depan mata kami tinggal satu tanjakan lagi. Di sini kami melihat 6 ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Badannya lebih kecil dan bulunya lebih tebal jika dibandingkan dengan species sama yang hidup di dataran lebih rendah. Menurut kami ini salah satu pola adaptasi dari mereka. Hal ini merupakan pemandangan luar biasa karena di tempat seperti ini masih ada saja mamalia yang bisa beradaptasi terhadap udara dingin dan jumlah makanan terbatas.
Rombongan pendaki lain sudah kelihatan dibelakang kami. Karena idak ingin berdesak-desakan di tanjakan terakhir, kamipun segera take off. Tanjakan terakhir benar-benar gila. Badan harus merapat ke tebing sedangkan tangan mencengkeram lubang yang ada di tebing, dan kaki dimiringkan. Kami merayap ke kiri pelan-pelan karena tidak mungkin berjalan lurus karena lebar jalan hanya 10 - 15 cm sementara dibawahnya jurang (foto pas disini keren tapi ngeri).
Sampai juga kami di puncak kenteng songo (3,142 m) jam 10.30. Ekspresi kami berbeda-beda ketika sampai di puncak. Haryanto dan Siti berteriak, Salma langsung duduk, sedangkan amsi tak henti-hentinya bersyukur dan bertasbih, sambil menyulut rokok, dan mengamati gunung merapi di kejauhan. Seandainya cuaca tidak berkabut, kami dapat mengamati gunung merapi, lawu, sindoro, sumbing, telomoyo, dan gunung ungaran dari puncak merbabu ini. Tapi sayang kabut menutupi semua gunung tersebut. Selang 30 menit sudah banyak sekali pendaki yang sampai juga dipuncak. Rombongan dibelakang kami juga sudah sampai. Kami sempat heran juga melihat banyaknya pendaki, karena seingat kami yang mendaki bersama kami hanya 5 rombongan tapi pas di puncak mencapai sepuluh rombongan lebih. Ternyata yang lain naik dari jalur selo. Kami saling berfoto bersama dengan pendaki lain.
Menurut penglihatan paranormal, di puncak kenteng songo terdapat 9 batu berlubang yang sangat dikeramatkan. Sementara kami hanya melihat 5 buah batu saja. Di dekat batu tersebut kami memasak dan makan. Tidak lupa hemaviton jreng kami siapkan. Jam 12.00 kami turun setelah bersalaman dengan pendaki lain.
Sampai di bawah persimpangan puncak, kami melihat kawah candradimuka. Amsi dan haryanto bermaksud turun membuat jalur terobosan yang langsung menuju kawah candradimuka tersebut untuk mengambil air tanpa harus menuruni tanjakan setan. Kalau dipikir-pikir, rencana ini dapat menghemat 400 m perjalanan dan jalur terobosan yang akan dibuat relative aman karena tidak ada jurang kanan kirinya. Setelah melihat kontur dan peta, haryanto turun duluan sejauh 100 meter. Katanya medannya aman, tapi karena siti dan salma pada takut haryanto kembali. Kita akhirnya melewati jalur biasa.
Sebelum pos V kami sempatkan turun ke kawah candradimuka untuk mengambil 8 liter air. Perjalanan bolak-balik turun ke kawah mengambil air ini sangat membuat kami kelelahan. Salma kakinya sudah gemetaran. Jam 02.00 kami sampai di pos IV. Maruf sudah menunggu. Kami memasak lagi dan makan. Di sini musibah hampir terjadi, kopi panas (baru saja dibuat dari air mendidih) yang dimasukkan dalam Tupperware, ditutup, lalu dikocok tiba-tiba meleduk dan tumpah mengenai tangan dan kaki amsi. Rupanya tekanan uap dari air panas tersebut yang menyebabkannya. Aneh sekali, dan alhamdulillah, air panas tersebut tidak terasa panas, melainkan hangat.
Selesai makan kami buru-buru packing dan mengumpulkan sampah untuk dibawa turun lalu bergegas cabut jam 14.30 karena mulai gerimis. Jalur turun yang kami ambil berbeda dengan jalur sewaktu kami naik semalam. Jalur inilah yang disebut jalur thekelan. Setengah jam perjalanan turun kami sampai di pos III yang ditandai dengan adanya batu besar mirip gua karena ada lubang ditengahnya yang bisa dimasuki 5 orang. Batu ini di sebut watu gubuk, berada pada ketinggian 2,610 m. Menurut penduduk sekitar disinilah pusat kerajaan makluk halus. Ada tulisan sangat jelas dari KOMPPAS (volunteer resmi gunung merbabu) agar pendaki dilarang buang air, berbuat mesum, dan merusak tempat tersebut. Kami sempat berfoto di sini.
Kami tidak berlama-lama di pos III karena gerimis mulai turun. Menuju pos III kami melewati hutan campuran berupa jalan tanah yang lumayan licin. Jam 16.30 kami sampai di pos II. Ada shelter sederhana di situ. Perjalanan kami lanjutkan kembali bersama rombongan pendaki yang lain. Jalanan masih licin saja. Sampai di pos I yang juga terdapat shelter sederhana, hari mulai gelap. Jam menunjukkan pukul 18.00. Pos I ini berada pada ketinggian 2,260 m. Untuk mencapai base camp masih ada 2,7 km lagi yang harus kami tempuh.
Perjalanan kami lanjutkan ketika hari mulai gelap. Senter kami nyalakan. Sampai di pos bayangan II hari benar-benar gelap. 7 orang pendaki dari pekalongan memutuskan untuk ngecamp di pos tersebut. Di pos ini kami juga ketemu dengan pendaki dari Semarang yang mengajak kami berfoto bersama. Rombongan kami turun sendirian. Tracknya licin karena merupakan jalan air juga. Amsi merasa tersiksa, beban dalam carer semakin berat karena berisi tenda dan pakaian basah. Sampai di pos bayangan I maruf terjatuh dan kami istirahat. Disini kami bertemu 12 orang pendaki dari salatiga yang mengatakan bahwa base camp masih jauh di bawah. Perjalanan kami lanjutkan. Senter yang hanya 2 buah membuat perjalanan kami agak lambat. Salma nyenterin amsi, sedangkan haryanto nyenterin siti dan maruf. Pelan-pelan perjalanan kami lanjutkan. Jam 21.00 kami semua tiba dengan selamat di base camp thekelan. Di base camp tersebut sudah beristirahat 30-an lebih pendaki yang sudah sampai duluan. Setelah bersih-bersih sebentar. Karena Siti ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan pada hari Minggu, dia langsung pulang ke Jakarta diantar sampai salatiga oleh haryanto dan maruf. Setelah siti dapat bis, haryanto dan maruf langsung pulang ke klaten, sementara amsi dan salma menginap di base camp. Pagi harinya amsi dan salma baru meninggalkan base camp menuju Jakarta kembali.
Amsi Rahmanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar