
Barangkali lagu tadi mengingatkan kami akan pendakian yang telah kami laksanakan bersama. Tetapi, bukannya “tinggi-tinggi sekali…iii, melainkan “capek-capek sekali…ii”. Demikianlah mungkin apa yang dinyanyikan oleh Tatik, Lina, Eka, dan Diah. Sungguh, pendakian kemarin pastilah membawa pengalaman sendiri-sendiri bagi yang mengikutinya. Dan pasti, terlalu banyak kata-kata yang harus diungkapkan ketika kita diminta untuk menceritakannya.
Peserta pendakian kali ini adalah Medical Representative area Jakarta Selatan terutama dari Medrep RS. Pondok Indah, fatmawati, dan RS. Internasional Bintaro. Berawal dari keisengan Amsi yang menunjukkan foto-foto pendakiannya di Gunung Cermai, Bayu (PT. Fournier) dan Tatik PT. Glaxo) merasa terprovokator sehingga meminta Amsi (PT. Meiji Indonesia) untuk mengkoordinir anak-anak Medrep melakukan pendakian bersama. Amsi menyetujui dan memutuskan Gunung Gede adalah tujuannya, mengingat jarak dan lama tempuh yang relatif singkat dari Jakarta. Tidak ada susunan panitia dalam pendakian ini, yang ada hanya koordinator saja yang dipegang Amsi dan Bayu. Sosialisasi acara disebarkan melalui selebaran dan mulut ke mulut, hasilnya banyak sekali yang berminat, 60 Medrep lebih, meskipun yang akhirnya jadi jalan hanya 40 orang. Tetapi susah sekali mengumpulkan mereka untuk sekedar Tenichal meeting apalagi iuran 50.000, sehingga sempat pula kami pesimis bahwa acara tersebut akan sukses. Terpaksa deh amsi harus nalangin dahulu uang untuk boking.
Itu cerita lalu, yang penting semuanya sudah dilaksanakan dan buktinya: SUKSES. Kesuksesan ini tak lepas dari keikutsertaan teman-teman di RS Internasional Bintaro (4 orang) dan RS Puri Cinere (10 orang). Meskipun peserta Puri hanya iuran 35.000, tetapi mereka bisa mengurangi beban biaya mobil yang cukup besar. Sebagai catatan, peserta puri juga menyediakan 8 buah tenda dum dan 6 set alat masak beserta bahan bakarnya, sehingga cukup wajar seandainya mereka hanya iuran 35.000, karena tanpa tenda dan alat masak, peserta harus menyewa peralatan tersebut yang tidak murah biaya sewanya.
Jam 14.00 tanggal 18 Juni 2005 semua peserta berkumpul di RS Fatmawati. Ketika semua peserta sudah berada di dalam truk marinir dan siap diberangkatkan ke Cibodas, datang berita duka cita. Bapaknya Bayu yang meninggal dunia dan akan dimakamkan jam 17.00 pada hari itu juga sehingga bayu harus pulang dan tidak bisa mengikuti kegiatan. Kami sempat memberikan doa kepada almarhum yang dipimpin oleh ustaz Arief (PT. Novell). Selesai berdoa, jam 15.00 kami langsung berangkat ke Cibodas melalui tol.
Keluar tol ciawi jalannya macet. Dasar playboy kabel, kemacetan malah dimanfaatkan anton, jojon, mandra, amsi dan yang lain untuk godain awewe geulis yang naik motor, mobil, atau jalan kaki, sehingga suasana jadi tambah ramai. Apalagi dalam truk marinir juga ada peserta yang lagi pe-de-ka-te. Siapa tuh??? Kemacetan hanya sampai mega mendung dan setelah itu lancar kemabali. Jam 17.30 kami sudah sampai kantor Taman Nasional Gede Pangrango yang berada di Cibodas pada ketinggian sekitar 1300 mdpl, berhawa sejuk dan pemandangannya sangat indah sekali. Disebelah kantor terdapat banyak sekali villa dan tempat wisata seperti Mandalawangi dan kebun raya Cibodas. Sesampainya di kantor tersebut, rombongan ada yang sholat, bersih-bersih, dan duduk-duduk saja sambil menunggu datangnya makanan yang dipesan amsi dan anton. Setelah makanan siap, kami semua menyantap hidangan murah meriah, nasi sayur telur+sedikit orek seharga 2500/bungkus ditambah air minumnya. Cukup murah untuk ukuran jakarta.
Peserta pendakian kali ini adalah Medical Representative area Jakarta Selatan terutama dari Medrep RS. Pondok Indah, fatmawati, dan RS. Internasional Bintaro. Berawal dari keisengan Amsi yang menunjukkan foto-foto pendakiannya di Gunung Cermai, Bayu (PT. Fournier) dan Tatik PT. Glaxo) merasa terprovokator sehingga meminta Amsi (PT. Meiji Indonesia) untuk mengkoordinir anak-anak Medrep melakukan pendakian bersama. Amsi menyetujui dan memutuskan Gunung Gede adalah tujuannya, mengingat jarak dan lama tempuh yang relatif singkat dari Jakarta. Tidak ada susunan panitia dalam pendakian ini, yang ada hanya koordinator saja yang dipegang Amsi dan Bayu. Sosialisasi acara disebarkan melalui selebaran dan mulut ke mulut, hasilnya banyak sekali yang berminat, 60 Medrep lebih, meskipun yang akhirnya jadi jalan hanya 40 orang. Tetapi susah sekali mengumpulkan mereka untuk sekedar Tenichal meeting apalagi iuran 50.000, sehingga sempat pula kami pesimis bahwa acara tersebut akan sukses. Terpaksa deh amsi harus nalangin dahulu uang untuk boking.
Itu cerita lalu, yang penting semuanya sudah dilaksanakan dan buktinya: SUKSES. Kesuksesan ini tak lepas dari keikutsertaan teman-teman di RS Internasional Bintaro (4 orang) dan RS Puri Cinere (10 orang). Meskipun peserta Puri hanya iuran 35.000, tetapi mereka bisa mengurangi beban biaya mobil yang cukup besar. Sebagai catatan, peserta puri juga menyediakan 8 buah tenda dum dan 6 set alat masak beserta bahan bakarnya, sehingga cukup wajar seandainya mereka hanya iuran 35.000, karena tanpa tenda dan alat masak, peserta harus menyewa peralatan tersebut yang tidak murah biaya sewanya.
Jam 14.00 tanggal 18 Juni 2005 semua peserta berkumpul di RS Fatmawati. Ketika semua peserta sudah berada di dalam truk marinir dan siap diberangkatkan ke Cibodas, datang berita duka cita. Bapaknya Bayu yang meninggal dunia dan akan dimakamkan jam 17.00 pada hari itu juga sehingga bayu harus pulang dan tidak bisa mengikuti kegiatan. Kami sempat memberikan doa kepada almarhum yang dipimpin oleh ustaz Arief (PT. Novell). Selesai berdoa, jam 15.00 kami langsung berangkat ke Cibodas melalui tol.
Keluar tol ciawi jalannya macet. Dasar playboy kabel, kemacetan malah dimanfaatkan anton, jojon, mandra, amsi dan yang lain untuk godain awewe geulis yang naik motor, mobil, atau jalan kaki, sehingga suasana jadi tambah ramai. Apalagi dalam truk marinir juga ada peserta yang lagi pe-de-ka-te. Siapa tuh??? Kemacetan hanya sampai mega mendung dan setelah itu lancar kemabali. Jam 17.30 kami sudah sampai kantor Taman Nasional Gede Pangrango yang berada di Cibodas pada ketinggian sekitar 1300 mdpl, berhawa sejuk dan pemandangannya sangat indah sekali. Disebelah kantor terdapat banyak sekali villa dan tempat wisata seperti Mandalawangi dan kebun raya Cibodas. Sesampainya di kantor tersebut, rombongan ada yang sholat, bersih-bersih, dan duduk-duduk saja sambil menunggu datangnya makanan yang dipesan amsi dan anton. Setelah makanan siap, kami semua menyantap hidangan murah meriah, nasi sayur telur+sedikit orek seharga 2500/bungkus ditambah air minumnya. Cukup murah untuk ukuran jakarta.
Selesai makan kami mengecek kelengkapan dan kesiapan rombogan dilanjutkan dengan salam alam yang dipimpin duki. Selesai salam alam, dilanjutkan dengan breifing di halaman kantor taman nasional yang dipimpin oleh amsi. Karena peserta pendakian cukup banyak, 45 orang, kami membagi tim dan menunjuk ketua timnya beserta tim sweeping dan runner. Jam 20.00 kami memulai pendakian setelah sebelumnya kami mengurus perijinan di pos pendakian gunung gede pangrango. Semenit baru kami berjalan meninggalkan kantor, gerimis menyambut kami. Kami sempat membuka rain coat dan berjalan kembali. Rupanya hanya hujan-hujan ayam yang menyambut kedatangan kami untuk menguji semangat kami, karena tidak sampai 15 menit, cuacanya menjadi sangat cerah. Kami bisa melihat langit dan bintang-bintang di angkasa. Kami juga dibantu penerangan oleh sinar bulan meskipun malam itu bukan bulan purnama. Yah, malam itu alam sangat bersahabat dengan kita. Satu filosofi dari heni yang selalu didampingi cowoknya, “kalau kita menghormati alam, alam juga akan menghormati kita“. Emang iya ya hen..........
Perjalanan menuju panyancangan, 2.3 km dari pos, diisi dengan gurauan, ejek-ejekan, juga curhat-curhatan. Rupanya banyak juga peserta yang menjadi BPH, alias Barisan Patah Hati, sehingga tak segan-segan ada yang nyanyiin lagu tak bisa pindah ke lain hati-nya kla, atau jujur punya radja. Yang merasa BPH jangan marah lho. Sebelum sampai panyancangan kami melewati jembatan kayu yang panjangnya 300m dan sangat indah sekali. Kata tatik dan diah tempatnya romantis (Je’ilah mbak…romantis gitu lho..h!). Kami beristirahat agak lama di panyancangan.
Tidak selamanya niat yang kuat bisa diwujudkan. Pada saat berangkat semua peserta sangat kelihatan bersemangat. Tapi apa boleh dikata, fisik tetap saja bisa down, apalagi sebagian peserta baru sekali-kalinya naik gunung. Sudah terlihat wajah-wajah yang mulai pucat dan kedinginan. Seleksi alam dimulai, demikian kata amsi. Yang kuat lanjut, yang tidak kuat “nge-camp aja dech”. Saat-saat yang ditunggu tiba, yaitu saatnya membuka bekel kue, roti, wafer, coklat, pocari, extra jos dan entah apa lagi. Tapi yang jelas, setiap bekel yang dibuka, akan disambut dengan wajah yang penuh riang gembita. Mandra, topnya ranger anak rep salah satu contohnya. Tak lupa dengan cekatan, anton menyiapkan kopi panas bagi siapa yang menginginkannya. Anton dan ewo bisa dijadikan “bibi” dan “mamang” yang setia dalam pendakian ini. “Bibi” karena siap memasak dan membuatkan minuman kapanpun diminta, “mamang” karena rajin bawa beban berat.
Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan ke puncak gede. Mbak Trie, Rissa, dan Udi dari RSI Bintaro terpaksa harus ngecamp. Enam peserta puri meskipun sebernarnya kuat sampai puncak juga memilih ngecamp, dan empat orang teman deni soho juga ngecamp di Panyancangan. Sesuia dengan intruksi dr. Isma, Sp.B peserta dari RS. Puri Cinere yang ngecamp dibawah (tidak mau capek-capek ke puncak) jam 12.00 malam harus mandi dan berendam di air terjun cibeureum sebagai hukumannya, dimana eksekutornya adalah Pak Duki. Tapi sayang hukuman itu tidak dapat dilaksanakan karena sedang ada prosesi ritual oleh orang yang tidak kami kenal di air terjun tersebut yang melarang pak duki cs untuk mendekati air terjun, bahkan untuk sekedar mengambil air wudlu disitu juga dilarang.
Perjalanan dari panyancangan menuju puncak lambat merayap. Lambat karena sering istirahat, merayap karena jalannya mulai terjal mendaki jadi kadang ada peserta yang harus merayap terengah-engah. Dengan perjuangan keras kami semua berjalan pelan-pelan. Lina, Eka, tatik, dan juga diah walaupun kelihatan capek dan nafas ngos-ngosan tetap maju pantang menyerah. Sebuah kegigihan yang patut diacungin jempol buat mereka semua. Melewati air panas kami memasang kewaspadaan I dan sangat berhati-hati, karena batu-batunya licin, udah gitu salah sedikit bisa masuk jurang atau kecebur ke air panas yang suhunya 55-700C. Cukup panas untuk membuat kaki kita “ngglojoti”. Panjang jalan yang dilalui air panas sekitar 25 m yang sebelah kanannya jurang dan sebelah kiri dinding batu yang dialiri air panas dari atas.
Nure, Lina, dan Arief memilih ngecamp di shelter dekat air panas. Kondisinya sudah mulai drop, sedangkan yang lain tetap semangat sampai ke puncak. Tetapi, baru berjalan 150 m dari air panas Eka (PT. Combhipar) pingsan. Eka terkena “mountain sickness”, yang ditandai dengan lemah, lesu, mual, kepala pusing, mual kadang disertai muntah, dan akhirnya pingsan. Jajat, ronald, broto segera memberikan pertolongan pertama. Tatik mengoleskan minyak kayu putih. Hampir saja Amsi mau memberikan nafas buatan, tapi tak lama kemudian eka sudah bangun. Hehe..becanda eka!. Didampingi oleh ronald dan jajat, Eka di bawa turun ke air panas dan mereka ngecamp disitu. Emang, ronald dan jajat dalam pendakian ini sangat care dengan kelompok timnya. Eka dimasukin ke tenda nur, sedangkan ronald, jajat, dan arief buka tenda sendiri. Tapi dasar cowok suka begadang, mereka ternyata ga pada tidur malah ngobrol di depan tenda beralaskan matras. Dengan kantuk yang sudah menjadi-jadi, perjalanan dilanjutkan menuju kandang badak, pos terakhir sebelum puncak. Rombongan jojon yang paling duluan sampai kandang badak jam 01.00-an, rombongan yang dipimpin anton sampai jam 02.30, sedangkan rombongan terakhir jam 04.30 baru sampai. Tenda dum segera didirikan disebelah tenda rombongan pertama dan anak-anak langsung tidur. Di kandang badak, banyak sekali pendaki lain yang sudah ngecamp, ada 20an tenda disitu. Dengan matras diluar dum, Amsi langsung masuk dalam sleeping bag tidur blek-sek dan baru bangun jam 06.30 karena suara anton yang seperti toa meraung-raung. Wiwin dan triyanto tidak tidur semalaman, nongrong di depan dum sambil menggigil. Tidak tahu persis apa yang mereka omongkan. Ni anak berdua memang jagonya begadang karena memang tidak tidur selama pendakian. Sedangkan amsi katanya “ketika bangun, saya melihat semua orang memperhatikan saya, tidak tahu kenapa, saya hanya mendengar orang pada manggil saya gorilla, ternyata dalam kantung tidur saya yang “lemu ginuk-ginuk” dan posisi tidur saya yang ngringkel, saya mirip gorilla” kata amsi.
Praktis jam 06.20 kita semua sudah pada bangun. Suara antonlah yang bikin pada bangun. Hanya mandra yang tidurnya paling molor. Dengan muka yang super kucel, kucuk-kucuk-kucuk ehhh, si mandra bangun juga mendengar kita pada ketawa-ketawa di luar. Segera, sang bibi juru masak kita, ewo dan anton, langsung menghidangkan mie panas, corned, nasi instan indofood, kopi, teh dan apapun yang bisa dihidangkan, termasuk menghidangkan diri. Tak kalah gesitnya, si cantik diah (PT. Ferron) juga mengeluarkan ransumnya. Ngomong-ngomong soal perbekalan makanan, diah-lah yang kelihatannya paling banyak, karena bentar-bentar selalu mengeluarkan makanan.
Jam 07.00 sebanyak 28 orang melanjutkan perjalanan ke puncak, hanya amsi yang tinggal di camp kandang badak menunggui tenda. Rombongan ke puncak dipimpin anton dan mandra. Ewo dan mpok juga memberikan support dibelakang, sekaligus sebagai runner dan sweaper. Sepanjang perjalanan ke puncak dari kandang badak tak henti-hentinya kami bercanda satu sama lain sehingga menambah erat tali persahabatan di antara kami. Meskipun diantara kami sebelum pendakian ini belum saling kenal, tetapi dalam perjalanan kami ibarat sudah saling kenal lama.
Melewati tanjakan rante pendaki dari rombongan kami yang belum pernah mendaki gunung gede merasa agak minder melihat tanjakan yang kemiringannya hampir 80 derajad. Tapi dengan semangat baja, mereka semua mampu melewatinya. Anton yang berjalan paling duluan, sedangkan diah dan tatik belakangan berjalan satu-persatu, dengan harapan di foto dari atas sambil bergaya layaknya pendaki profesional yang sedang climbing. Sampai di atas tanjakan rante kembali kami berfoto ria dengan latar belakang puncak gunung pangrango yang sangat indah.
Dari atas tanjakan rante menuju puncak gede jalan semakin menanjak, menanjak, dan suueemakin menanjak terjal yang bikin orang putus asa. Ayu yang tahun kemarin juga naik ke gede dan hampir tidak kuat meneruskan perjalanan, dalam pendakian ini terlihat paling agresif. Ia dan hanum berjalan paling duluan meninggalkan yang lain. Ewo dan Siti yang start belakangan dari kandang badak juga sangat agresif, hanya 30 menit yang mereka butuhkan untuk sampai tanjakan rante dari kandang badak. Ewo yang bertemu dengan anton di atas tanjakan rante segera menggantikan kerir yang dibawa anton dan langsung meluncur ke puncak dengan cepat disusul mpok dibelakangnya, sedangkan anton menemani diah dan tatik yang tertatih-tatih (bukan ter-tatik-tatik lho). Dua primadona pendakian kita ini menanyakan “puncak masih jauh tidak” dan selalu dijawab “dikit lagi sampai, tinggal dua belokan lagi, kiri dan kanan”. (memang benar juga sih, karena seberapa jauh kita berjalan, kita hanya akan menemukan dua belokan, yaitu kiri dan kanan.). Begitulah perjuangan mencapai puncak yang penuh dengan usaha keras dan nafas ngos-ngosan. Lain halnya dengan usman, oding, dan jojon. Ni anak bertiga denger-denger tidak pada buka camp di Kandang Badak dan langsung ke puncak. Mereka sampai di puncak jam 04.00 dini hari, dan hanya mereka bertiga yang dapat menikmati indahnya sunrise. Tapi ni anak bertiga lupa kalau nesting di bawa rombongan dibelakang, sehingga harus pinjam pendaki lain.
Akhirnya dengan perjuangan yang keras dan semangat yang tak mudah putus asa, sampai juga kami di puncak gunung gede jam 09.00. Pertama kali menginjakkan kaki di puncak ada persaan lega menyelimuti dada, seolah capek dan badan yang pegal-pegal hilang seketika ketika kami melihat hamparan alam di bawah kami, juga ketika terbentang langit biru yang maha luas di sekitar kami, awan yang biasanya kami lihat ada di tas, sekarang kelihatannya ada di bawah kami, juga keindahan kawah gede yang selalu mengeluarkan asap dan bau belerang serta bunga abadi yang menawan. Sungguh indah sekali, dan tak henti-hentinya kami bertasbih memuji keagungan Tuhan pencipta alam. Berada pada ketinggian lebih dari 2.900 mdpl sungguh membuat kami merasa sangat kecil dihadapan tuhan dan tidak ada alasan bagi kami untuk menyombongkan diri.
Sambil menikmati keindahan alam, di puncak gunung gede kami sempat berfoto bersama, memasak mie, dan membuat kopi panas. Ada perasaan haru menyelimuti. Haru melihat kebersamaan kami meskipun kami baru kenal satu sama lain dalam pendakian ini. Ternyata acara pendakian ini membuat kami jadi semakin tambah teman dan sahabat yang memang benar-benar mau membantu dalam suka maupun duka.
Setelah puas menikmati pemandangan di puncak, jam 09.45 kami mulai packing barang untuk persiapan turun. Jam 10.00 kami mulai meninggalkan puncak gede. Ada perasaan sedih meninggalkan puncak gede, karena tidak tahu kapan lagi kami bisa kembali ke sini sehingga dengan rasa yang agak males kami mulai berjalan meninggalkan puncak. Kami ber 26 berjalan beriringan, karena siti dan ewo sudah turun duluan. Ewo dan siti ditunjuk sebagai runners dengan pengalaman pendakian yang cukup banyak, bahkan untuk pendakian ke gede jumlahnya sudah tidak terhitung. Sebenarnya mereka berdua punya tugas nungguin camp kandang badak, tapi karena ngotot pingin naik, maka mereka diijinkan naik oleh amsi tapi hanya diberikan waktu 2 jam PP kandang badak – puncak dan mereka bisa membuktikannyal. Tak jauh dari puncak terjadi musibah yang menimpa anton, “saya yang berjalan dengan carier di pundak yang lumayan berat tak sengaja nginjak batu rapuh sehingga saya terjatuh dan engkel kaki kanan saya langsung mblendung”, kata anton. Sebelumnya engkel kaki kanan anton juga pernah cedera. Kami beristirahat sejenak untuk memberikan pertolongan pada kaki anton. Untung fotografer kita, bang Broto, membawa tensocrap (pembalut elastis bertekanan tinggi) dan alhasil, setelah dibalut, kaki anton bisa di gerakan dan bisa melanjutkan perjalanan dengan sebuah tongkat. Meski dengan tertatih-tatih, “saya berusaha untuk tetap berjalan”, kata anton. Bang Broto segera menggantikan beban kerir yang dibawa anton, sedangkan anton membawa day-pack Hanum. Melihat musibah yang menimpa anton, diah memberikan semangat agar anton berhati-hati dan tidak putus asa. Rupa-rupanya himbauan diah sangat diperhatikan oleh anton. Ada apa denganmu……………TON??
Sampai di kandang badak dengan tertawa-tawa anton minta maaf pada amsi, karena telah ngeledek amsi dengan sebutan gorilla sehingga ia kuwalat, tapi dibalas tertawaan anak-anak. Istirahat sebentar di kandang badak sambil membereskan tenda dan mungutin sampah, kami lalu berjalan turun gunung bersama-sama, pelan-pelan, dan lagi-lagi…ledek-ledekan. Yang tidak kuat iman dijamin bisa kencing dicelana. “Ada untungnya juga anton kecelakaan, so anak-anak bisa bareng turunnya, coba kalau tidak, pasti pada ngacir sendiri-sendiri”, demikian kata amsi. Selama perjalanan turun kandang badak – panyancangan kami selalu bersama dan so pasti kenyang dengan ledek-ledekan. Tatik di panggil mak lampir yang kerjaannya jatuh mulu, karena bentar-bentar jatuh “nggregeli” kakinya. Sedangkan si diah, akrab dengan panggilan macan karena pake jaket mirip macan, udah gitu sepatunya pada jebol gara-gara cakarnya ketajeman sehingga harus diganti pake sandal jepit. Amsi dipanggil gorilla karena kerjaannya “ngringkel” mulu. Si papi kita, mandra, selalu rajin nungguin pasien yang kecapean, sedangkan triyanto cukup puas dengan jadi tukang mungutin sampah sepanjang jalan sambil ngarokok. Entah sudah berapa batang yang ia habiskan. Barangkali triyanto-lah yang paling banyak pahalanya karena rajin bawa sampah. Wiwin yang agak-agak pendiam tampaknya kelihatan mesra juga ketika bersama diah. Hanum yang sebenarnya punya tenaga “xena”, karena solidaritas sesama kawan, dengan rela juga harus berjalan pelan-pelan bareng anak-anak yang lain.
Turun sampai di Panyancangan kami beristirahat sebentar. Heni dan Nure yang setia menunggu kami dari puncak sudah menyiapkan minuman dan makanan hangat. Ketika kami beristirahat di panyancangan, banyak sekali rombongan pendaki lain yang istirahat di situ juga. Turun melewati jembatan kayu di bawah panyancangan yang indah dan romantis (kata tatik), kami berfoto ria sambil bergaya. Sampai di telaga biru rombongan terpisah. Diah dan amsi belakangan, yang lain pada duluan. Diah sudah kecapean dan tasnya harus dibantu dibawa amsi. Sampai di pos cibodas, amsi lapor kepada petugas jagawana bahwa rombongan sudah turun semua dan selamat. Amsi dan diah datang paling terakhir di kantor taman nasional bawah, anak-anak yang lain kelihatannya sudah pada selesai belanja oleh-oleh dan souvenir cibodas. Di kantor ini kami sempat berfoto juga. Lina yang pulang duluan karena harus ke bandung, sempat bergaya ok ketika difoto di kantor ini. Begitu juga dengan eka.
Jam 18.00 kami meninggalkan cibodas naik truk marinir. Tapi sebelumnya kami sempat kebingungan mencari tempat parkirnya karena jalanan cukup padat dipenuhi bus dan angkutan wisatawan yang datang ke cibodas. Sampai di Jakarta jam 20.30 dengan selamat jalan dan pulang kembali ke habitat masing-masing, lalu tidur pulas…..kecapean.
Demikianlah perjalanan kami, Medical Representative, area jakarta selatan ke gunung gede. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, dari perusahaan farmasi yang berbeda pula, atau meskipun di rumah sakit tempat kami memasarkan produk ethical kami adalah kompetitor yang selalu bersaing, tetapi di Gunung gede, di acara pendakian bersama ini kami bisa membuktikan bahwa kami adalah satu. Satu untuk semua, semua untuk satu. Kami yakin bahwa pendakian ini pastilah memberikan kesan luar biasa dalam hidup kami yang akan selalu kami ingat sepanjang masa dan akan kami ceritakan kepada anak cucu kami kelak. Bukan mengenai tingginya gunung yang telah kami daki, tetapi semangat kebersamaan, pengorbanan, dan tolong-menolong yang akan kami pegang teguh.
Amsi Rahmanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar